Selasa, 19 Mei 2009

CAMPAK

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit campak merupakan salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, dan salah satu dampak keberhasilan program imunisasi ialah menurunnya angka kesakitan dan kematian penyakit campak. Sidang CDC / PAHO / WHO 1996 menyimpulkan bahwa penyakit campak dapat dieradikasi karena satu-satunya pejamu (host) reservoir campak hanya manusia, dan sidang WHA (1998) menetapkan kesepakatan Reduksi Campak.

Program imunisasi campak di Indonesia dimulai tahun 1982, dan pada tahun 1991 Indonesia telah mencapai imunisasi dasar lengkap (Universal Child Immunization=UCI) secara nasional; meskipun demikian masih ada beberapa daerah yang cakupan imunisasi campaknya masih rendah sehingga sering terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) campak. Salah satu tahapan dalam upaya pemberantasan campak ialah Tahap Reduksi Campak yang salah satu strateginya ialah Surveilans (Surveilans rutin, SKD-respon KLB, dan Penyelidikan KLB). Surveilans penyakit campak dilakukan untuk menilai perkembangan program pemberantasan campak dan menentukan strategi pemberantasannya terutama di daerah. Kasus Campak klinis adalah kasus dengan gejala bercak kemerahan di tubuh berbentuk makulopapular selama 3 hari atau lebih disertai demam 38°C (WHO,1996).

Penyakit campak disebabkan oleh virus golongan paramyxoviridae. Cara penularannya air borne berupa percikan batuk, bersin penderita; penderita dapat menularkan penyakit ini meskipun belum demam (biasanya 3 hari sebelum demam). Masa inkubasi penyakit ini 8-13 hari, rata- rata 10 hari


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Campak adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam, lemas, batuk, konjungtivitis (peradangan selaput ikat mata/konjungtiva) dan bintik merah di kulit (ruam kulit). Virus ini terdapat dalam darah dan sekret (cairan) nasofaring (jaringan antara tenggorokan dan hidung) pada masa gejala awal (prodromal) hingga 24 jam setelah timbulnya bercak merah di kulit dan selaput lendir.⁵

Cara penularan melalui droplet dan kontak, yakni karena menghirup percikan ludah (droplet) dari hidung, mulut maupun tenggorokan penderita morbili/campak. Artinya, seseorang dapat tertular Campak bila menghirup virus morbili, bisa di tempat umum, di kendaraan atau di mana saja. Penderita bisa menularkan infeksi ini dalam waktu 2-4 hari sebelum rimbulnya ruam kulit dan selama ruam kulit ada. Masa inkubasi adalah 10-14 hari sebelum gejala muncul.⁶

Sebelum vaksinasi campak digunakan secara meluas, wabah campak terjadi setiap 2-3 tahun, terutama pada anak-anak usia pra-sekolah dan anak-anak SD. Jika seseorang pernah menderita campak, maka seumur hidupnya dia akan kebal terhadap penyakit ini. Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi, infeksi aktif dan kekebalan pasif pada seorang bayi yang lahir ibu yang telah kebal (berlangsung selama 1 tahun). ⁶

B. Epidemiologi
Penyakit ini terutama menyerang anak-anak usia 5-9 tahun. Dinegara berkembang menyerang pada usia lebih muda daripada negara maju. Biasanya penyakit ini timbul pada masa aanak dan kemudian menyebabkan kekebalan seumur hidup. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pernah menderita morbili akan mendapatkan kekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai umur 4-6 bulan dan setelah umur tersebut kekebalan akan mengurang sehingga si bayi dapat menderita morbili. Bila si ibu belum pernah menderita menderita morbili ketika ia hamil 1 atau 2 bulan, maka 50% kemungkinan akan mengalami abortus, bila ia menderita morbili pada trimester pertama, kedua atau ketiga maka ia mungkin melahirkan seorang anak dengan kelainan bawaan atau seorang anak dengan berat badan lahir rendah atau lahir mati anak yang kemudian meninggal sebelum usia 1 tahun. ⁵

Sejak bulan Juli tahun 2008, Propinsi DIY telah melaksanakan Program Case Based Measles Surveillance (CBMS) atau Program Surveilans Campak Berbasis Kasus. Inti kegiatan program tersebut adalah dimana setiap kasus klinis Campak didata, dilakukan penyelidikan epidemiologi dan diambil spesimen darah untuk dibuktikan kasus tersebut benar-benar disebabkan oleh virus Campak atau bukan. Kegiatan CBMS ini sementara baru dilakukan di 2 Propinsi di Indonesia, yaitu Yogyakarta dan Bali.²
Data kasus Campak Klinis dan Hasil Pemeriksaan Spesimen pada bulan Juli hingga Desember 2008 di Propinsi DIY adalah sebagai berikut :²
Kasus Juli Agt Sept Okt Nov Des
Klinis Campak 10 57 60 80 89 54
Positif Campak 0 0 1 1 0 0
Positif Rubela 1 21 30 43 42 27


C. Penyebab
Campak, rubeola, atau measles Adalah penyakit infeksi yang sangat mudah menular atau infeksius sejak awal masa prodromal, yaitu kurang lebih 4 hari pertama sejak munculnya ruam. Campak disebabkan oleh paramiksovirus ( virus campak). Penularan terjadi melalui percikan ludah dari hidung, mulut maupun tenggorokan penderita campak (air borne disease ). Masa inkubasi adalah 10-14 hari sebelum gejala muncul. ⁶

Kekebalan terhadap campak diperoleh setelah vaksinasi, infeksi aktif dan kekebalan pasif pada seorang bayi yang lahir ibu yang telah kebal (berlangsung selama 1 tahun). Orang-orang yang rentan terhadap campak adalah: - bayi berumur lebih dari 1 tahun - bayi yang tidak mendapatkan imunisasi - remaja dan dewasa muda yang belum mendapatkan imunisasi kedua. Virus ini sangat sensitif terhadap panas dan dingin, sinar ultraviolet dan ether. ⁵


D. Gejala
Gejala mulai timbul dalam waktu 7-14 hari setelah terinfeksi, yaitu berupa: - Panas badan - nyeri tenggorokan - hidung meler ( Coryza ) - batuk ( Cough ) - Bercak Koplik - nyeri otot - mata merah ( conjuctivitis ) 2-4 hari kemudian muncul bintik putih kecil di mulut bagian dalam (bintik Koplik). Ruam (kemerahan di kulit) yang terasa agak gatal muncul 3-5 hari setelah timbulnya gejala diatas. Ruam ini bisa berbentuk makula (ruam kemerahan yang mendatar) maupun papula (ruam kemerahan yang menonjol). Pada awalnya ruam tampak di wajah, yaitu di depan dan di bawah telinga serta di leher sebelah samping. Dalam waktu 1-2 hari, ruam menyebar ke batang tubuh, lengan dan tungkai, sedangkan ruam di wajah mulai memudar. ⁵

Pada puncak penyakit, penderita merasa sangat sakit, ruamnya meluas serta suhu tubuhnya mencapai 40° Celsius. 3-5 hari kemudian suhu tubuhnya turun, penderita mulai merasa baik dan ruam yang tersisa segera menghilang. Demam, kecapaian, pilek, batuk dan mata yang radang dan merah selama beberapa hari diikuti dengan ruam jerawat merah yang mulai pada muka dan merebak ke tubuh dan ada selama 4 hari hingga 7 hari. ²

E. Patofisiologi
Virus campak ditularkan lewat infeksi droplet lewat udara, menempel dan berkembang biak pada epitel nasofaring. Tiga hari setelah invasi, replikasi dan kolonisasi berlanjut pada kelenjar limfe regional dan terjadi viremia yang pertama. Virus menyebar pada semua sistem retikuloendotelial dan menyusul viremia kedua setelah 5-7 hari dari infeksi awal. Adanya giant cells dan proses keradangan merupakan dasar patologik ruam dan infiltrat peribronchial paru. Juga terdapat udema, bendungan dan perdarahan yang tersebar pada otak. Kolonisasi dan penyebaran pada epitel dan kulit menyebabkan batuk, pilek, mata merah (3 C : coryza, cough and conjuctivitis) dan demam yang makin lama makin tinggi. Gejala panas, batuk, pilek makin lama makin berat dan pada hari ke 10 sejak awal infeksi (pada hari penderita kontak dengan sumber infeksi) mulai timbul ruam makulopapuler warna kemerahan.Virus dapat berbiak juga pada susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala klinik encefalitis. Setelah masa konvelesen pada turun dan hipervaskularisasi mereda dan menyebabkan ruam menjadi makin gelap, berubah menjadi desquamasi dan hiperpigmentasi. Proses ini disebabkan karena pada awalnya terdapat perdarahan perivaskuler dan infiltrasi limfosit. ⁵

Manusia merupakan satu- stunya inang alamiah untuk virus campak, walaupun banyak spesies lain, termasuk kera, anjing, tikus, dapat terinfeksi secara percobaan. Virus masuk ke dalam tubuh melalui system pernafasan, dimana mereka membelah diri secara setempat; kemudian infeksi menyebar ke jaringan limfoid regional, dimana terjadi pembelahan diri selanjutnya. Viremia primer menyebabkan virus, yang kemudian bereplikasi dalam system retikuloendotelial. Akhirnya, viremia sekunder bersemai pada permukaan epitel tubuh, termasuk kulit, saluran pernafasan, dan konjungtiva, dimana terjadi replikaksi fokal. Campak dapat bereplikasi dalam limfosit tertentu, yang membantu penyebarannya di seluruh tubuh. Sel datia berinti banyak dengan inklusi intranuklir ditemukan dalam jaringan limfoid di seluruh tubuh (limfonodus, tonsil, apendiks).¹

Peristiwa tersebut di atas terjadi selama masa inkubasi, yang secara khas berlangsung 9- 11 hari tetapi dapat diperpanjang hingga 3 minggu pada orang yang lebih tua. Mula timbul penyakit biasanya mendadak dan ditandai dengan koriza (pilek), batuk, konjungtivitis, demam, dan bercak koplik dalam mulut. Bercak koplik- patognomonik untuk campak- merupakan ulkus kecil, putih kebiruan pada mukosa mulut, berlawanan dengan molar bawah. Bercak ini mengandung sel datia, antigen virus, dan nukleokapsid virus yang dapat dikenali. ¹

Selama fase prodromal, yang berlangsung 2- 14 hari, virus ditemukan dalam air mata, sekresi hidung dan tenggorokan, urin, dan darah. Ruam makulopopuler yang khas timbul setelah 14 hari tepat saat antibody yang beredar dapat dideteksi, viremia hilang, dan demam turun. Ruam timbul sebagai hasil interaksi sel T imun dengan sel terinfeksi virus dalam pembuluh darah kecil dan berlangsung sekitar seminggu. Pada pasien dengan cacat imunitas berperantara sel, tidak timbul ruam. ¹

Keterlibatan system saraf pusat lazim terjadi pada campak. Ensefalitis simptomatik timbul pada sekitar 1:1000 kasus. Karena virus penular jarang ditemukan di otak, maka diduga reaksi autoimun merupakan mekanisme yang menyebabkan komplikasi ini. ¹

Sebaliknya, ensefalitis menular yang progresif akut dapat timbul pada pasien dengan cacat imunitas berperantara sel. Ditemukan virus yang bereplikasi secara katif dalam otakdan hal ini biasanya bentuk fatal dari penyakit. ¹

Komplikasi lanjut yang jarang dari campak adalah peneesefalitis sklerotikkans subakut. Penyakit fatal ini timbul bertahun- tahun setelah infeksi campak awal dan disebabkan oleh virus yang masih menetap dalam tubuh setelah infeksi campak akut. Jumlah antigen campak yang besar ditemukan dalam badan inklusi pada sel otak yang terinfeksi, tetapi paartikel virus tidak menjadi matang. Replikasi virus yang cacat adalah akibat tidak adanya pembentukan satu atau lebih produk gen virus, sering kali protein maatriks. Tidak diketahui mekanisme apa yang bertanggung jawab untuk pemilihan virus patogenik cacat ini. ¹

Adanya virus campak intraseluler laten dalam sel otak pasien dengan panensefalitis sklerotikans subakut menunjukkan kegagalan system imun untuk membasmi infeksi virus. Ekspresi antigen virus pasa permukaan sel dimodulasi oleh penambahan antibosi campak terhadap sel yang terinfeksi dengan virus campak. Dengan menngekspresikan lebih sedikit antigen virus pada permukaan, sel- sel dapat menghindarkan diri agar tidak terbunuh oleh reaksi sitotoksik berperantara sel atau berperantara antibody tetapi dapat tetap mempertahankan informasi genetic virus. ¹

Anak- anak yang diimunisasi dengan vaksi campak yang diinaktivasi kemudian dipaparkan dengan virus campak alamiah, dapat mengalami sindroma yang disebut campak atipik. Prosedur inaktivasi yang digunakan dalam produksi vaksin akan merusak imunogenisitas protein F virus; walaupun vaksin mengembangkan respon antibody yang baik terhadap protein H, tanpa adanya infeksi antibody F dapat dimulai dan virus dapat menyebar dari sel ke sel melalui penyatuan. Keadaan ini akan cocok untuk reaksi patologik imun yang dapat memperantarai campak atipik. Vaksin virus campak yang diinaktifkan tampak digunakan lagi. ¹

F. Antibody yang berperan
Ig terdiri atas Ig M yang memiliki sifat berada di serum permukaan sel B, paling primitif, besar, pentamer, berperan pada respon primer, paling efisien dlm aglutinasi dan fiksasi komplemen. IgG ada di cairan interstisium, paling banyak dalam darah, mampu menembus plasenta,monomer,berperan dalam respon sekunder, menghasilkan imunitas pasif bagi bayi baru lahir, penting pada opsonisasi, prepitasi, aglutinasi.

Ketiga IgA. IgA merupakan Ig utama dalam sekresi termasuk dalam ASI, bentuk molekul dimer, menetralisasi toksin dalam darah, pertahanan primer thdp invasi di selaput lendir. Keempat IgD berada di serum permukaan sel B, monomer, fungsi belum jelas.Terakhir IgE ada di serum berikatan dengan reseptor sel mast dan basofil. Limfosit B jenis terakhir adalah limfosit B memori yang berguna untuk mengingat antigen yang sudah pernah diikat.²

Imunisasi adalah penyediaan perlindungan yang spesifik untuk melawan patogen yang umum dan mematikan. Mekanisme dari imunitas bergantung dari bentuk patogen dan patogenesis dari patogen tersebut. Contohnya, jika mekanisme dari patogennya melibatkan exotoxins, maka reaksi imun yang efektif melawan itu adalah mengeluarkan antibodi yang mencegah keterikatannya dengan reseptor yang tepat dan menunjukkan patogen tersebut kepada sel-sel fagosit.(Male,et. al). Dengan imunisasi diharapkan limfosit dapat melihat antigen yang ada pada virus dan dapat membuat antibodi yang tepat, serta dapat mengingatnya dengan bantuan sel B memori. Ada dua jenis imunisasi , yaitu imunisasi pasif dan aktif.²

Strategi pertahanan virus
Virus adalah mikroorganisme yang mengadakan replikasi di dalam sel dan kadang- kadang memakaiasam nukleat atau protein pejamu. Sifat virus yang sangat khusus adalah:
1. Dapat menginfeksi jaringan tanpa menimbulakn respon inflamasi
2. Dapat berkembang biak dalam sel pejamu merusak
3. Mengganggu sel khusus tanpa merusak.
Virus yang tidak menyebabkan kerusakan sel, maka hal ini akibat reaksi antigen antibody. Virus dapat menjadi persisten dan akhirnya menjadi kronik, sebagai contoh adalah virus hepatitis B
4. Virus merusak sel atau mengganggu perkembangan sel kemudian menghilang dari tubuh, dan virus seperti ini disebut virus sitopatik, sebagai contoh infeksi HIV, infeksi hepatitis virus lain, dan sebagainya. ³

Dalam melawan system imun, virus secara kontinu mengganti struktur permukaan antigennya melalui mekanisme antigenic drift dan antigenic shift, seperti yang dilakukan oleh jenis virus influenza. Permukaan virus influenza terdiri dari hemaglutinin, yang diperlukan, yang diperlukan untuk adesi ke sel saat infeksi, dan neuramidase, yang diperlukan untuk menghasilkan bentuk virus baru dari permuakaan asam sialik dari sel yang terinfeksi. Hemaglutinin lebih penting dalam hal pembentukan imunitas pelindung. Perubahan minor dari antigen hemaglutinin terjadi melalui titik mutasi di genom virus (drift), namun perubahan mayor terjadi melalui perubahan seluruh material genetic (shift). ³

Virus hepatitis B dapat menunjukkan variasi epitop yang berfungsi sebagai antagonis TCR yang mampu mengahmbat antivirus sel T sitostotik. Beberapa virus juga dapat mempengaruhi proses olahan dan presentasi antigen. Virus dapat mempengaruhi mekanisme efektor imun karena mempunyai reseptor Fc-gamma sehingga mengahmbat fungsi efektor yang diperantarai Fc. Virus dapat menghambat komplemen dalam induksi respon inflamasi sehingga juga menghambat pemusnahan virus. Beberapa virus juga menggunakan reseptor komplemen untuk masuk ke dalam sel dan virus lainnya dapat memanipulasi imunitas seluler, seperti menghambat sel T sitostatik. ³

Mekanisme pertahanan tubuh
Respon imun non spesifik terhadap infeksi virus
Secara jelas terlihat bahwa respon imun yang terjadi adalah timbulnya interferon dan sel natural killer (NK) dan antibody yang spesifik terhadap virus tersebut. Pengenalan dan pemusnahan sel yang terinfeksi virus sebelum terjadi replikasi sangat bermanfaat bagi pejamu. Permukaan sel yang terinfeksi virus mengalami modifikasi, terutama dalam struktur karbohidrat, menyebabkan sel menjadi target sel NK. Sel NK mempunyai 2 jenis reseptor permukaan. Reseptor pertama merupakan killer activating reseptor, yang terikat pada karbohidrat dan struktur lainnya yang di ekspresikan oleh semua sel. Reseptor lainnya adalah killer inhibitory reseptor, yang mengenali molekul MHC kelas I dan mendominasi signal dari reseptor aktivasi. Oleh karena itu, sensitifitas sel target tergantung pad ekspresi MHC kelas I. sel yang sensitive atau terinfeksi mempunyai MHC kelas I yang rendah, namun sel yang tidak terinfeksi dengan molekul MHC kelas I yang normal akan terlindungi dari sel NK. Produksi IFN-alfa selama infeksi virus akan mengaktifasi sel NK dan meragulasi ekspresi MHC pada sle terdekat sehingga menjadi resisten terhadap infeksi virus. Sel NK juga dapat berperan dalam ADCC bila antibody terhadap protein virus terikat pada sel yang terinfeksi. ³

Oleh karena itu 2 mekanisme utama respon nonspesifik terhadap virus, yaitu:
1. Infeksi virus secara langsung yang akan merangsang produksi IFN oleh sel- sel terinfeksi; IFN berfungsi menghambat replikasi virus.
2. Sel NK mampu membunuh virus yang berada di dalam sel, walaupun virus menghambat presentasi antigen dan ekspresi MHC kelas I. IFN tipe I akan meningkatkan kemampuan sel NK untuk memusnahkan virus yang berada di dalam sel. Selain itu, aktivasi komplemen dan fagositosis akan menghilangkan virus yang dating dari ekstraseluler dan sirkulasi. ³

Respon imun spesifik terhadap infeksi virus
Mekanisme respons imun spesifik ada dua jenis yaitu respon imunitas humoral dan selular. Respon imun spesifik ini mempunyai peranan penting, yaitu:
1. Menetralkan antigen virus dengan berbagai cara antara lain menghambat perlekatan virus pada reseptor yang terdapat pada permukaan sel sehingga virus tidak dapat menembus membrane sel, dan dengan cara mengaktifkan komplemen yang menyebabkan agregasi virus sehingga mudah difagositosis.
2. Melawan virus sitopatik yang dilepaskan dari sel yang lisis. ³

Molekul antibody dapat menetralisasi virus melalui berbagai cara. Antibody dapat menghambat kombinasi virus dengan reseptor pada sel, sehingga memecah penetrasi dan multipikasi intraseluler, seperti pada virus influenza. Antibody juga dapat menghancurkan partikel virus bebas melalui aktifasi jalur klasik komplemen atau produksi agregasi, meningkatkan fagositosis dan kematian intraseluler. ³

Kadar konsentrasi antibody yang relative rendah juga dapat bermanfaat khususnya pada infeksi virus yang mempunyai masa inkubasi lama, dengan melewati aliran darah terlebih dahulu sebelum memasuki organ target, seperti virus poliomyelitis yang masuk melalui saluran cerna, melalui aliran darah menuju ke sel otak. Di dalam darah, virus akan dinetralisasi oelh antibody spesifik dengan kadar yang rendah, member waktu tubuh untuk membentuk respon imun sekunder sebelum virus mencapai organ target. ³

Infeksi virus lain seperti influenza dan common cold, mmempunyai masa inkubsai yang pendek, dan organ target virus sama dengan pintu masuk virus. Waktu yang dibutuhkan respon antibody primer untuk mencapai puncaknya menjadi terbatas, sehingga diperlukan produksi cepat interferon untuk mengatasi infeksi virus tersebut. Antibody berfungsi sebagai bantuan tambahan pada faase lambat pada proses penyembuhan. Namun, kadar antibody dapat meningkat pada cairan local yang terdapat dipermukaan yang terinfeksi, seperti mukosa nasal dan paru. Pembentukan antibody antiviral, khususnya IgA, secara local menjadi penting untuk pencegahan infeksi berikutnya. Namun hal ini menjadi tidak bermanfaat apabila terjadi perubahan antigen virus. ³

Virus menghindari antibody dengan cara hidup intraseluler. Antibody local atau sistemik dapat menghambat penyebaran virus sitolitik yang dilepaskan dari sel penjamu yang terbunuh, namun antibody sendiri tidak dapat mengontrol virus yang melakukan budding dari permukaan sel sebagai partikel infeksius yang dapat menyebarkan virus ke sel terdekat tanpa terpapar oleh antibody, oleh karena itu diperlukan imunitas seluler. ³

Respon imunitas sseluler juga merupakan respon yang penting terutama pada infeksi virus non sitopatik. Respon ini melibatkan sel T sitostoksik yang bersifat protektif, sel NK, ADCC dan interaksi dengan MHC kelas I sehingga menyebabkan kerusakan sel jaringan. Dalam respon infeksi virus pada jaringan akan timbul IFN yang akan membantu terjadinya respon imun yang bawaan dan didapat. Peran antivirus dari IFN cukup besar terutama IFN-alfa dan IFN-beta. Kerja IFn sebagai antivirus adalah:
1. Meningkatkan ekspresi MHC kelas 1
2. Aktivasi sel NK dan makrofag
3. Menghambat replikasi virus
4. Menghambat penetrasi ke dalam sel atau budding virus dari sel yang terinfeksi. ³

Limfosit T dari pejamu yang telah tersensitisasi bersifat sitotoksik langsung pada sel yang terinfeksi virus melalui pengenalan antigen pada permukaan sel target oleh reseptor alfa- beta spesifik di limfosit. Semakin cepat sel T sitostosik menyerang virus, maka replikasi dan penyebaran virus akan semakin cepat dihambat. ³

Sel yang terinfeksi mengekspresikan peptide antigen virus pada permukaan yang terkait dengan MHC kelas I sesaat setelah virus masuk. Pemusnahan cepat sel yang terinfeksi oleh sel T sitostosik alfa- beta mencegah multiplikasi virus. ³

Sel T yang terstimulasi oleh antigen virus akan melepaskan sitokin seperti IFN- gamma dan kemokin makrofag atau monosit. Sitokin ini akan menarik fagosit mononuclear dan teraktifasi untuk mengeluarkan TNF. Sitokinin TNF bersama IFN- gamma akan menyebabkan sel menjadi vonpermissive, sehingga tidak terjadi replikasi virus yang masuk melalui transfer intraseluller. Oleh karena itu, lokasi infeksi dikelilingi oleh lingkaran sel yang resisten. Seperti halnya IFN- alfa, IFN- gamma meningkatkan sitotoksisitas sel NK untuk sel yang terinfeksi. ³

Antibosi dapat menghambat sel T sitotoksik melalui reaksi dengan antigen permukaan pada budding virus yang baru dimulai, sehingga dapat terjadi proses ADCC. Antibody juga berguna dalam mencegah reinfeksi.³

Beberapa virus dapat menginfeksi sel- sel system imun sehingga mengganggu fungsinya dan mengakibatkan imunodepresi, misalnya virus polio, influenza, dan HIV atau penyakit AIDS. Sebagian besar virus membatasi dir (self limiting), namun sebagian lain menyebabkan gejala klinik atau subklinik. Pengenalan sel target oleh sel T sitotooksik spesifik virus dapat melisis sel target yang mengekspresikan peptide antigen yang homolog dengan region berbeda dari virus yang sama atau bahkan dari virus yang berbeda. Aktivaasi oleh virus kedua tersebut dapat menimbulkan memori dan imunitas spontan daari virus lain setelah infeksi virus inisial dengan jenis silang. ³

G. Pencegahan
Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak. Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan campak Jerman (vaksin MMR/mumps, measles, rubella), disuntikkan pada otot paha atau lengan atas. Jika hanya mengandung campak, vaksin dibeirkan pada umur 9 bulan. Dalam bentuk MMR, dosis pertama diberikan pada usia 12-15 bulan, dosis kedua diberikan pada usia 4-6 tahun. Selain itu penderita juga harus disarankan untuk istirahat minimal 10 hari dan makan makanan yang bergizi agar kekebalan tubuh meningkat.²
H. Tahapan pemberantasan Campak
Pemberantasan campak meliputi beberapa tahapan, dengan kriteria pada tiap tahap yang berbeda-beda.
a. Tahap Reduksi.
Tahap reduksi campak dibagi dalam 2 tahap: Tahap pengendalian campak. Pada tahap ini terjadi penurunan kasus dan kematian, cakupan imunisasi >80%, dan interval terjadinya KLB berkisar antara 4 – 8 tahun. Tahap pencegahan KLB. Pada tahun ini cakupan imunisasi dapat dipertahankan tinggi dan merata, terjadi penurunan tajam kasus dan kematian, dan interval terjadinya KLB relative lebih panjang.
b. Tahap Eliminasi
Pada tahap eliminasi, cakupan imunisasi sudah sangat tinggi (>95%), dan daerah-daerah dengan cakupan imunisasi rendah sudah sangat kecil jumlahnya. Kasus campak sudah jarang dan KLB hampir tidak pernah ternadi. Anak-anak yang dicurigai tidak terlindung (susceptible) harus diselidiki dan mendapat imunisasi tambahan.
C. Tahap Eradikasi
Cakupan imunisasi tinggi dan merata, dan kasus campak sudah tidak ditemukan. Transmisi virus sudah dapat diputuskan, dan negara-negara di dunia sudah memasuki tahap eliminasi. Pada TCG Meeting, Dakka, 1999, menetapkan Indonesia berada pada tahap reduksi dengan pencegahan terjadinya KLB. ⁴

I. Penatalaksanaan
Pengobatan bersifat suportif, terdiri dari :
o Pemberian cairan yang cukup
o Kalori yang sesuai dan jenis makanan yang disesuaikan dengan tingkat kesadaran dan adanya komplikasi
o Suplemen nutrisi
o Antibiotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder
o Anti konvulsi apabila terjadi kejang
o Pemberian vitamin A.
Indikasi rawat inap : hiperpireksia (suhu > 39,00 C), dehidrasi, kejang, asupan oral sulit, atau adanya komplikasi.

Campak tanpa komplikasi :
o Hindari penularan
o Tirah baring di tempat tidur
o Vitamin A 100.000 IU, apabila disetai malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari
o Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai. Jenis makanan disesuaikan dengan tingkat kesadaran pasien dan ada tidaknya komplikasi

Campak dengan komplikasi :
o Ensefalopati/ensefalitis
Antibiotika bila diperlukan, antivirus dan lainya sesuai dengan PDT ensefalitis
Kortikosteroid, bila diperlukan sesuai dengan PDT ensefalitis
Kebutuhan jumlah cairan disesuaikan dengan kebutuhan serta koreksi terhadap gangguan elektrolit
o Bronkopneumonia :
Antibiotika sesuai dengan PDT pneumonia
Oksigen nasal atau dengan masker
Koreksi gangguan keseimbangan asam-basa, gas darah dn elektrolit
o Enteritis : koreksi dehidrasi sesuai derajat dehidrasi (lihat Bab enteritis dehidrasi).
o Pada kasus campak dengan komplikasi bronkhopneumonia dan gizi kurang perlu dipantau terhadap adanya infeksi TB laten. Pantau gejala klinis serta lakukan uji Tuberkulin setelah 1-3 bulan penyembuhan.
o Pantau keadaan gizi untuk gizi kurang/buruk. ⁴

J. Komplikasi
Pada anak yang sehat dan gizinya cukup, campak jarang berakibat serius. Beberapa komplikasi yang bisa menyertai campak:
1. Infeksi bakteri : Pneumonia dan Infeksi telinga tengah
2. Kadang terjadi trombositopenia (penurunan jumlah trombosit), sehingga pendeita mudah memar dan mudah mengalami perdarahan
3. Ensefalitis (inteksi otak) terjadi pada 1 dari 1,000-2.000 kasus. ⁴


BAB III
RINGKASAN

Campak adalah endemik pada sebagian besar dunia. Campak sangat menular, sekitar 90% kontak keluarga yang rentan mendapat penyakit. Campak jarang subklinis. Sebelum penggunaan vaksin campak, puncak insiden pada umur 5-10 tahun, kebanyakan orang dewasa imun.Sekarang di Amerika Serikat, campak terjadi paling sering pada anak umur sekolah yang belum di imunisasi dan pada remaja dan orang dewasa muda yang telah di imunisasi

Biasanya penyakit ini timbul pada masa aanak dan kemudian menyebabkan kekebalan seumur hidup. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pernah menderita morbili akan mendapatkan kekebalan secara pasif (melalui plasenta) sampai umur 4-6 bulan dan setelah umur tersebut kekebalan akan mengurang sehingga si bayi dapat menderita morbili. Bila si ibu belum pernah menderita menderita morbili ketika ia hamil 1 atau 2 bulan, maka 50% kemungkinan akan mengalami abortus, bila ia menderita morbili pada trimester pertama, kedua atau ketiga maka ia mungkin melahirkan seorang anak dengan kelainan bawaan atau seorang anak dengan berat badan lahir rendah atau lahir mati anak yang kemudian meninggal sebelum usia 1 tahun.

Biasanya campak bisa sembuh dengan sendirinya apabila gizi penderita tersebut baik. Jika pasien dengan gizi yang buruk dan tanpa pengobatan sangat ditakutkan terjadinya komplikasi.


DAFTAR PUSTAKA
Brooks. Mikrobiologi Kedokteran. Penerbit buku kedokteran ECG: 1996
http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&jd=Tips+Praktis+Mengatasi+Campak&dn=20080921170024
Matondang dalam Akib dkk. Alergi Imunologi Anak. Balai Penerbit IDAI : 2008
Parwati SB. Campak dalam perspektif perkembangan imunisasi dan diagnosis Pediatri pencegahan mutakhir I, CE IKA Unair, 2000 : 73-92.
Poorwo Soedarmo, SS., dkk. (Ed.). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Jakarta. 2008;109-121.
Rampengan, T.H. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak Edisi 2. EGC. Jakarta. 2008;4;79-87.

Minggu, 17 Mei 2009

KONJUNGTIVITS

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing, misalnya kontak lensa.

Konjungtivitis virus biasanya mengenai satu mata. Pada konjungtivitis ini, mata sangat berair. Kotoran mata ada, namun biasanya sedikit. Konjungtivitis bakteri biasanya mengenai kedua mata. Ciri khasnya adalah keluar kotoran mata dalam jumlah banyak, berwarna kuning kehijauan. Konjungtivitis alergi juga mengenai kedua mata. Tandanya, selain mata berwarna merah, mata juga akan terasa gatal. Gatal ini juga seringkali dirasakan dihidung. Produksi air mata juga berlebihan sehingga mata sangat berair. Konjungtivitis papiler raksasa adalah konjungtivitis yang disebabkan oleh intoleransi mata terhadap lensa kontak. Biasanya mengenai kedua mata, terasa gatal, banyak kotoran mata, air mata berlebih, dan kadang muncul benjolan di kelopak mata. Konjungtivitis virus biasanya tidak diobati, karena akan sembuh sendiri dalam beberapa hari. Walaupun demikian, beberapa dokter tetap akan memberikan larutan astringen agar mata senantiasa bersih sehingga infeksi sekunder oleh bakteri tidak terjadi dan air mata buatan untuk mengatasi kekeringan dan rasa tidak nyaman di mata.

Obat tetes atau salep antibiotik biasanya digunakan untuk mengobati konjungtivitis bakteri. Antibiotik sistemik juga sering digunakan jika ada infeksi di bagian tubuh lain. Pada konjungtivitis bakteri atau virus, dapat dilakukan kompres hangat di daerah mata untuk meringankan gejala. Tablet atau tetes mata antihistamin cocok diberikan pada konjungtivitis alergi. Selain itu, air mata buatan juga dapat diberikan agar mata terasa lebih nyaman, sekaligus melindungi mata dari paparan alergen, atau mengencerkan alergen yang ada di lapisan air mata. Untuk konjungtivitis papiler raksasa, pengobatan utama adalah menghentikan paparan dengan benda yang diduga sebagai penyebab, misalnya berhenti menggunakan lensa kontak. Selain itu dapat diberikan tetes mata yang berfungsi untuk mengurangi peradangan dan rasa gatal di mata.

Pada dasarnya konjungtivitis adalah penyakit ringan, namun pada beberapa kasus dapat berlanjut menjadi penyakit yang serius. Untuk itu tidak ada salahnya berkonsultasi dengan dokter mata jika terkena konjungtivitis.

1.1 Tujuan

Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini antara lain untuk memenuhi salah satu penilaian kognitif pada masa Kepaniteraan Klinik pada stase bagian Kedokteran Komunitas. Selain itu, tujuan penulisan tinjauan pustaka ini juga untuk menambah pengetahuan bagi penulis dan bagi orang lain yang membacanya terutama mengenai konjungtivitis.

BABA II

TEORI

2.1 Definisi

Konjungtivitis adalah peradangan konjungtiva yang ditandai oleh dilatasi vaskular, infiltrasi selular dan eksudasi.1, 3

2.2 Klasifikasi

A. Konjungtivitis Karena agen infeksi

B. Konjungtivitis Imunologik (Alergik)

C. Konjungtivitis Akibat Penyakit Autoimun

D. Konjungtivitis Kimia atau Iritatif

E. Konjungtivitis yang Penyebabnya tidak Diketahui

F. Konjungtivitis yang Berhubungan dengan Penyakit Sistemik

G. Konjungtivitis pada Dakriosistitis atau Kanalikulitis

2.3 Konjungtivitis Karena agen infeksi

2.3.1 Konjungtivitis Bakterial

Terdapat dua bentuk konjungtivitis bacterial: akut (dan subakut) dan menahun. Penyebab konjungtivitis bakteri paling sering adalah Staphylococcus, Pneumococcus, dan Haemophilus. Konjungtivitis bacterial akut dapat sembuh sendiri bila disebabkan mikroorganisme seperti Haemophilus influenza. Lamanya penyakit dapat mencapai 2 minggu jika tidak diobati dengan memadai.

Konjungtivitis akut dapat menjadi menahun. Pengobatan dengan salah satu dari sekian antibacterial yang tersedia biasanya mengenai keadaan ini dalam beberapa hari. Konjungtivitis purulen yang disebabkan Neisseria gonorroeae atau Neisseria meningitides dapat menimbulkan komplikasi berat bila tidak diobati secara dini

A. Tanda dan Gejala

- Iritasi mata,

- Mata merah,

- Sekret mata,

- Palpebra terasa lengket saat bangun tidur

- Kadang-kadang edema palpebra

Infeksi biasanya mulai pada satu mata dan menular ke sebelah oleh tangan. Infeksi dapat menyebar ke orang lain melalui bahan yang dapat menyebarkan kuman seperti seprei, kain, dll.1,5

B. Pemeriksaan Laboratorium

Pada kebanyakan kasus konjungtivitis bacterial, organism dapat diketahui dengan pemeriksaan mikroskopik terhadap kerokan konjungtiva yang dipulas dengan pulasan Gram atau Giemsa; pemeriksaan ini mengungkapkan banyak neutrofil polimorfonuklear.1,2,3 Kerokan konjungtiva untuk pemeriksaan mikroskopik dan biakan disarankan untuk semua kasus dan diharuskan jika penyakit itu purulen, bermembran atau berpseudomembran. Studi sensitivitas antibiotika juga baik, namun sebaiknya harus dimulai terapi antibiotika empiric. Bila hasil sensitifitas antibiotika telah ada, tetapi antibiotika spesifik dapat diteruskan.

C. Komplikasi dan Sekuel

Blefaritis marginal menahun sering menyertai konjungtiva stafilokokus kecuali pada pasien sangat muda yang bukan sasaran blefaritis. Parut konjungtiva dapat terjadi pada konjungtivitis pseudomembranosa dan pada kasus tertentu yang diikuti ulserasi kornea dan perforasi.

Ulserasi kornea marginal dapat terjadi pada infeksi N gonorroeae, N konchii, N meningitides, H aegyptus, S gonorrhoeae berdifusi melalui kornea masuk camera anterior, dapat timbul iritis toksik.1,3

D. Terapi

Terapi spesifik terhadap konjungtivitis bacterial tergantung temuan agen mikrobiologiknya. Sambil menunggu hasil laboratorium, dokter dapat mulai dengan terapi topical antimikroba. Pada setiap konjungtivitis purulen, harus dipilih antibiotika yang cocok untuk mengobati infeksi N gonorroeae, dan N meningitides. Terapi topical dan sistemik harus segera dilkasanakan setelah materi untuk pemeriksaan laboratorium telah diperoleh.

Pada konjungtivitis purulen dan mukopurulen akut, saccus konjungtiva harus dibilas dengan larutan garam agar dapat menghilangkan secret konjungtiva. Untuk mencegah penyebaran penyakit ini, pasien dan keluarga diminta memperhatikan secara khusus hygiene perorangan.

E. Perjalanan dan Prognosis

Konjungtivitis bakteri akut hampir selalu sembuh sendiri, infeksi dapat berlangsung selama 10-14 hari; jika diobati dengan memadai, 1-3 hari, kecuali konjungtivitis stafilokokus (yang dapat berlanjut menjadi blefarokonjungtivitis dan memasuki tahap mnehun) dan konjungtivitis gonokokus (yang bila tidak diobati dapat berakibat perforasi kornea dan endoftalmitis). Karena konjungtiva dapat menjadi gerbang masuk bagi meningokokus ke dalam darah dan meninges, hasil akhir konjungtivitis meningokokus adalah septicemia dan meningitis.1,4

Konjungtivitis bacterial menahun mungkin tidak dapat sembuh sendiri dan menjadi masalah pengobatan yang menyulitkan.


2.3.2 Konjungtivitis Virus

1. Konjungtivitis Folikuler Virus Akut

a). Demam Faringokonjungtival

Ø Tanda dan gejala

Demam Faringokonjungtival ditandai oleh demam 38,3-40 ⁰C, sakit tenggorokan, dan konjungtivitis folikuler pada satu atau dua mata. Folikuler sering sangat mencolok pada kedua konjungtiva dan pada mukosa faring. Mata merah dan berair mata sering terjadi, dan kadang-kadang sedikit kekeruhan daerah subepitel. Yang khas adalah limfadenopati preaurikuler (tidak nyeri tekan).1

Ø Laboratorium

Demam faringokonjungtival umumnya disebabkan oleh adenovirus tipe 3 dan kadang – kadang oleh tipe 4 dan 7. Virus itu dapat dibiakkan dalam sel HeLa dan ditetapkan oleh tes netralisasi. Dengan berkembangnya penyakit, virus ini dapat juga didiagnosis secara serologic dengan meningkatnya titer antibody penetral virus. Diagnosis klinis adalah hal mudah dan jelas lebih praktis.1,3,6

Kerokan konjungtiva terutama mengandung sel mononuclear, dan tak ada bakteri yang tumbuh pada biakan. Keadaan ini lebih sering pada anak-anak daripada orang dewasa dan sukar menular di kolam renang berchlor. 1,3,6

Ø Terapi

Tidak ada pengobatan spesifik. Konjungtivitisnya sembuh sendiri, umumnya dalam sekitar 10 hari. 1

b). Keratokonjungtivitis Epidemika

Ø Tanda dan gejala

Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya sering pada satu mata saja, dan biasanya mata pertama lebih parah. Pada awalnya pasien merasa ada infeksi dengan nyeri sedang dan berair mata, kemudian diikuti dalam 5-14 hari oleh fotofobia, keratitis epitel, dan kekeruhan subepitel bulat. Sensai kornea normal. Nodus preaurikuler yang nyeri tekan adalah khas. Edema palpebra, kemosis, dan hyperemia konjungtiva menandai fase akut. Folikel dan perdarahan konjungtiva sering muncul dalam 48 jam. Dapat membentuk pseudomembran dan mungkin diikuti parut datar atau pembentukan symblepharon. 1,3,4

Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan subepitel terutama terdapat di pusat kornea, bukan di tepian, dan menetap berbulan-bulan namun menyembuh tanpa meninggalkan parut. 1

Keratokonjungtiva epidemika pada orang dewasa terbatas pada bagian luar mata. Namun, pada anak-anak mungkin terdapat gejala sistemik infeksi virus seperti demam, sakit tenggorokan, otitis media, dan diare.

Ø Laboratorium

Keratokonjungtiva epidemika disebabkan oleh adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia). Virus-virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan tes netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuclear primer; bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat banyak neutrofil. 1

Ø Penyebaran

Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering terjadi melalui jari-jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata yang kurang steril, atau pemakaian larutan yang terkontaminasi. Larutan mata, terutama anestetika topical, mungkin terkontaminasi saat ujung penetes obat menyedot materi terinfeksi dari konjungtiva atau silia. Virus itu dapat bertahan dalam larutan itu, yang menjadi sumber penyebaran. 1,3

Ø Pencegahan

Bahaya kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan dengan memakai penetes steril pribadi atau memakai tetes mata dengan kemasan unit-dose. Cuci tangan secara teratur di antara pemeriksaan dan pembersihan serta sterilisasi alat-alat yang menyentuh mata khususnya tonometer juga suatu keharusan. Tonometer aplanasi harus dibersihkan dengan alcohol atau hipoklorit, kemudian dibilas dengan air steril dan dikeringkan dengan hati-hati. 4,6

Ø Terapi

Sekarang ini belum ada terapi spesifik, namun kompres dingin akan mengurangi beberapa gejala. kortikosteroid selama konjungtivitis akut dapat memperpanjang keterlibatan kornea sehingga harus dihindari. Agen antibakteri harus diberikan jika terjadi superinfeksi bacterial. 1

c). Konjungtivitis Virus Herpes Simpleks

Ø Tanda dan gejala

Konjungtivitis virus herpes simplex biasanya merupakan penyakit anak kecil, adalah keadaan yang luar biasa yang ditandai pelebaran pembuluh darah unilateral, iritasi, bertahi mata mukoid, sakit, dan fotofobia ringan. Pada kornea tampak lesi-lesi epithelial tersendiri yang umumnya menyatu membentuk satu ulkus atau ulkus-ulkus epithelial yang bercabang banyak (dendritik). Konjungtivitisnya folikuler. Vesikel herpes kadang-kadang muncul di palpebra dan tepian palpebra, disertai edema hebat pada palpebra. Khas terdapat sebuah nodus preaurikuler yang terasa nyeri jika ditekan. 1,3

Ø Laboratorium

Tidak ditemukan bakteri di dalam kerokan atau dalam biakan. Jika konjungtivitisnya folikuler, reaksi radangnya terutama mononuclear, namun jika pseudomembran, reaksinya terutama polimorfonuklear akibat kemotaksis dari tempat nekrosis. Inklusi intranuklear tampak dalam sel konjungtiva dan kornea, jika dipakai fiksasi Bouin dan pulasan Papanicolaou, tetapi tidak terlihat dengan pulasan Giemsa. Ditemukannya sel – sel epithelial raksasa multinuclear mempunyai nilai diagnostic.3

Virus mudah diisolasi dengan mengusapkan sebuah aplikator berujung kain kering di atas konjungtiva dan memindahkan sel-sel terinfeksi ke jaringan biakan.3

Ø Terapi

Jika konjungtivitis terdapat pada anak di atas 1 tahun atau pada orang dewasa, umunya sembuh sendiri dan mungkin tidak perlu terapi. Namun, antivirus local maupun sistemik harus diberikan untuk mencegah terkenanya kornea. Untuk ulkus kornea mungkin diperlukan debridemen kornea dengan hati-hati yakni dengan mengusap ulkus dengan kain kering, meneteskan obat antivirus, dan menutupkan mata selama 24 jam. Antivirus topical sendiri harus diberikan 7 – 10 hari: trifluridine setiap 2 jam sewaktu bangun atau salep vida rabine lima kali sehari, atau idoxuridine 0,1 %, 1 tetes setiap jam sewaktu bangun dan 1 tetes setiap 2 jam di waktu malam. Keratitis herpes dapat pula diobati dengan salep acyclovir 3% lima kali sehari selama 10 hari atau dengan acyclovir oral, 400 mg lima kali sehari selama 7 hari.3

Untuk ulkus kornea, debridmen kornea dapat dilakukan. Lebih jarang adalah pemakaian vidarabine atau idoxuridine. Antivirus topical harus dipakai 7-10 hari. Penggunaan kortikosteroid dikontraindikasikan, karena makin memperburuk infeksi herpes simplex dan mengkonversi penyakit dari proses sembuh sendiri yang singkat menjadi infeksi yang sangat panjang dan berat. 1,3

d). Konjungtivitis Hemoragika Akut

Ø Epidemiologi

Semua benua dan kebanyakan pulau di dunia pernah mengalami epidemic besar konjungtivitis konjungtivitis hemoregika akut ini. Pertama kali diketahui di Ghana dalam tahun 1969. Konjungtivitis ini disebabkan oleh coxackie virus A24. Masa inkubasi virus ini pendek (8-48 jam) dan berlangsung singkat (5-7 hari). 5

Ø Tanda dan Gejala

Mata terasa sakit, fotofobia, sensasi benda asing, banyak mengeluarkan air mata, merah, edema palpebra, dan hemoragi subkonjungtival. Kadang-kadang terjadi kemosis. Hemoragi subkonjungtiva umumnya difus, namun dapat berupa bintik-bintik pada awalnya, dimulai di konjungtiva bulbi superior dan menyebar ke bawah. Kebanyaka pasien mengalami limfadenopati preaurikuler, folikel konjungtiva, dan keratitis epithelial. Uveitis anterior pernah dilaporkan, demam, malaise, mialgia, umum pada 25% kasus. 1,5

Ø Penyebaran

Virus ini ditularkan melalui kontak erat dari orang ke orang dan oleh fomite seperti sprei, alat-alat optic yang terkontaminasi, dan air. Penyembuhan terjadi dalam 5-7 hari

Ø Terapi

Tidak ada pengobatan yang pasti.

2. Konjungtivitis Virus Menahun

a). Blefarokonjungtivitis

Molluscum Contagiosum

Sebuah nodul molluscum pada tepian atau kulit palpebra dan alis mata dapat menimbulkan konjungtivitis folikuler menahun unilateral, keratitis superior, dan pannus superior, dan mungkin menyerupai trachoma. Reaksi radang yang mononuclear (berbeda dengan reaksi pada trachoma), dengan lesi bulat, berombak, putih mutiara, non-radang dengan bagian pusat, adalah khas molluscum kontagiosum. Biopsy menampakkan inklusi sitoplasma eosinofilik, yang memenuhi seluruh sitoplasma sel yang membesar, mendesak inti ke satu sisi.3

Eksisi, insisi sederhana nodul yang memungkinkan darah tepi memasukinya, atau krioterapi akan menyembuhkan konjungtivitisnya.

b). Blefarokonjungtivitis Varicella-Zoster

Ø Tanda dan gejala

Hyperemia dan konjungtivitis infiltrate disertai dengan erupsi vesikuler khas sepanjang penyebaran dermatom nervus trigeminus cabang oftalmika adalah khas herpes zoster. Konjungtivitisnya biasanya papiler, namun pernah ditemukan folikel, pseudomembran, dan vesikel temporer, yang kemudian berulserasi. Limfonodus preaurikuler yang nyeri tekan terdapat pada awal penyakit. parut pada palpebra, entropion, dan bulu mata salah arah adalah sekuele. 1

Ø Laboratorium

Pada zoster maupun varicella, kerokan dari vesikel palpebra mengandung sel raksasa dan banyak leukosit polimorfonuklear; kerokan konjungtiva pada varicella dan zoster mengandung sel raksasa dan monosit. Virus dapat diperoleh dari biakan jaringan sel – sel embrio manusia. 1

Ø Terapi

Acyclovir oral dosis tinggi (800 mg oral lima kali sehari selama 10 hari), jika diberi pada awal perjalanan penyakit, agaknya akan mengurangi dan menghambat penyakit. 1

c). Keratokonjungtivitis Morbilli

Ø Tanda dan gejala

Pada awal penyakit, konjungtiva tampak mirip kaca yang aneh, yang dalam beberapa hari diikuti pembengkakan lipatan semiluner. Beberapa hari sebelum erupsi kulit, timbul konjungtivitis eksudatif dengan secret mukopurulen, dan saat muncul erupsi kulit, timbul bercak-bercak Koplik pada konjungtiva dan kadang-kadang pada carunculus. 1,3

Pada pasien imunokompeten, keratokonjungtivitis campak hanya meninggalkan sedikit atau sama sekali tanpa sekuel, namun pada pasien kurang gizi atau imunokompeten, penyakit mata ini seringkali disertai infeksi HSV atau infeksi bacterial sekunder oleh S pneumonia, H influenza, dan organism lain. Agen ini dapat menimbulkan konjungtivitis purulen yang disertai ulserasi kornea dan penurunan penglihatan yang berat. Infeksi herpes dapat menimbulkan ulserasi kornea berat dengan perforasi dan kehilangan penglihatan pada anak-anak kurang gizi di Negara berkembang. 1,3

Kerokan konjungtivitis menunjukkan reaksi sel mononuclear, kecuali jika ada pseudomembran atau infeksi sekunder. Sedian terpulas giemsa mengandung sel-sel raksasa. Karena tidak ada terapi spesifik, hanya tindakan penunjang saja yang dilakukan, kecuali jika ada infeksi sekunder. 1

2.4 Konjungtivitis Imunologik (Alergik)

Reaksi Hipersensitivitas Humoral Langsung

2.4.1 Konjungtivitis Demam Jerami (Hay Fever)

Ø Tanda dan gejala

Radang konjungtivitis non-spesifik ringan umumnya menyertai demam jerami (rhinitis alergika). Bianya ada riwayat alergi terhadap tepung sari, rumput, bulu hewan, dan lainnya. Pasien mengeluh tentang gatal-gatal, berair mata, mata merah, dan sering mengatakan bahwa matanya seakan-akan “tenggelam dalam jaringan sekitarnya”. Terdapat sedikit penambahan pembuluh pada palpebra dan konjungtiva bulbi, dan selama serangan akut sering terdapat kemosis berat (yang menjadi sebab “tenggelamnya” tadi). Mungkin terdapat sedikit tahi mata, khususnya jika pasien telah mengucek matanya.

Ø Laboratorium

Sulit ditemukan eosinofil dalam kerokan konjungtiva

Ø Terapi

Meneteskan vasokonstriktor local pada tahap akut (epineprin, larutan 1:1000 yang diberikan secara topical, akan menghilangkan kemosis dan gejalanya dalam 30 menit). Kompres dingin membantu mengatasi gatal-gatal dan antihistamin hanya sedikit manfaatnya. Respon langsung terhadap pengobatan cukup baik, namun sering kambuh kecuali anti-gennya dapat dihilangkan.

2.4.2 Konjungtivitis Vernalis

Ø Definisi

Penyakit ini, juga dikenal sebagai “catarrh musim semi” dan “konjungtivitis musiman” atau “konjungtivitis musim kemarau”, adalah penyakit alergi bilateral yang jarang.1,3 Penyakit ini lebih jarang di daerah beriklim sedang daripada di daerah dingin. Penyakit ini hamper selalu lebih parah selama musim semi, musim panas dan musim gugur daripada musim gugur.

Ø Insiden

Biasanya mulai dalam tahun-tahun prapubertas dan berlangsung 5 – 10 tahun. Penyakit ini lebih banyak pada anak laki-laki daripada perempuan. 5

Ø Tanda dan gejala

Pasien mengeluh gatal-gatal yang sangat dan bertahi mata berserat-serat. Biasanya terdapat riwayat keluarga alergi (demam jerami, eczema, dan lainnya). Konjungtiva tampak putih seperti susu, dan terdapat banyak papilla halus di konjungtiva tarsalis inferior. Konjungtiva palpebra superior sering memiliki papilla raksasa mirip batu kali. Setiap papilla raksasa berbentuk polygonal, dengan atap rata, dan mengandung berkas kapiler. 1,2,3

Ø Laboratorium

Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat banyak eosinofil dan granula eosinofilik bebas. 1

Ø Terapi

Penyakit ini sembuh sendiri tetapi medikasi yang dipakai terhadap gejala hanya member hasil jangka pendek, berbahaya jika dipakai untuk jangka panjang. steroid sisremik, yang mengurangi rasa gatal, hanya sedikit mempengharuhi penyakit kornea ini, dan efek sampingnya (glaucoma, katarak, dan komplikasi lain) dapat sangat merugikan. Crmolyn topical adalah agen profilaktik yang baik untuk kasus sedang sampai berat. Vasokonstriktor, kompres dingin dan kompres es ada manfaatnya, dan tidur di tempat ber AC sangat menyamankan pasien. Agaknya yang paling baik adalah pindah ke tempat beriklim sejuk dan lembab. Pasien yang melakukan ini sangat tertolong bahkan dapat sembuh total. 1,3

2.4.2 Konjungtivitis Atopik

Ø Tanda dan gejala

Sensasi terbakar, bertahi mata berlendir, merah, dan fotofobia. Tepian palpebra eritemosa, dan konjungtiva tampak putih seperti susu. Terdapat papilla halus, namun papilla raksasa tidak berkembang seperti pada keratokonjungtivitis vernal, dan lebih sering terdapat di tarsus inferior. Berbeda dengan papilla raksasa pada keratokonjungtivitis vernal, yang terdapat di tarsus superior. Tanda-tanda kornea yang berat muncul pada perjalanan lanjut penyakit setelah eksaserbasi konjungtivitis terjadi berulangkali. Timbul keratitis perifer superficial yang diikuti dengan vaskularisasi. Pada kasus berat, seluruh kornea tampak kabur dan bervaskularisasi, dan ketajaman penglihatan. 1,3

Biasanya ada riwayat alergi (demam jerami, asma, atau eczema) pada pasien atau keluarganya. Kebanyakan pasien pernah menderita dermatitis atopic sejak bayi. Parut pada lipatan-lipatan fleksura lipat siku dan pergelangan tangan dan lutut sering ditemukan. Seperti dermatitisnya, keratokonjungtivitis atopic berlangsung berlarut-larut dan sering mengalami eksaserbasi dan remisi. Seperti keratokonjungtivitis vernal, penyakit ini cenderung kurang aktif bila pasien telah berusia 50 tahun.

Ø Laboratorium

Kerokan konjungtiva menampakkan eosinofil, meski tidak sebanyak yang terlihat sebanyak pada keratokonjungtivitis vernal. 1

Ø Terapi

Atihistamin oral termasuk terfenadine (60-120 mg 2x sehari), astemizole (10 mg empat kali sehari), atau hydroxyzine (50 mg waktu tidur, dinaikkan sampai 200 mg) ternyata bermanfaat. Obat-obat antiradang non-steroid yang lebih baru, seperti ketorolac dan iodoxamid, ternyata dapat mengatasi gejala pada pasien-pasien ini. Pada kasus berat, plasmaferesis merupakan terapi tambahan. Pada kasus lanjut dengan komplikasi kornea berat, mungkin diperlukan transplantasi kornea untuk mengembalikan ketajaman penglihatannya. 1,3

Reaksi Hipersensitivitas Tipe Lambat

2.5.1 Phlyctenulosis

Ø Definisi

Keratokonjungtivitis phlcytenularis adalah respon hipersensitivitas lambat terhadap protein mikroba, termasuk protein dari basil tuberkel, Staphylococcus spp, Candida albicans, Coccidioides immitis, Haemophilus aegyptus, dan Chlamydia trachomatis serotype L1, L2, dan L3. 1

Ø Tanda dan Gejala

Phlyctenule konjungtiva mulai berupa lesi kecil yang keras, merah, menimbul, dan dikelilingi zona hyperemia. Di limbus sering berbentuk segitiga, dengan apeks mengarah ke kornea. Di sini terbentuk pusat putih kelabu, yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12 hari. Phlyctenule pertama pada pasien dan pada kebanyakan kasus kambuh terjadi di limbus, namun ada juga yang di kornea, bulbus, dan sangat jarang di tarsus. 1

Phlyctenule konjungtiva biasanya hanya menimbulkan iritasi dan air mata, namun phlyctenule kornea dan limbus umumnya disertai fotofobia hebat. Phlyctenulosis sering dipicu oleh blefaritis aktif, konjungtivitis bacterial akut, dan defisiensi diet.

Ø Terapi

Phlyctenulosis yang diinduksi oleh tuberkuloprotein dan protein dari infeksi sistemik lain berespon secara dramatis terhadap kortikosteroid topical. Terjadi reduksi sebagian besar gejala dalam 24 jam dan lesi hilang dalam 24 jam berikutnya. Antibiotika topical hendaknya ditambahkan untuk blefarikonjungtivitis stafilokokus aktif. Pengobatan hendaknya ditujukan terhadap penyakit penyebab, dan steroid bila efektif, hendaknya hanya dipakai untuk mengatasi gejala akut dan parut kornea yang menetap. Parut kornea berat mungkin memerlukan tranplantasi. 1

2.5.2 Konjungtivitis Ringan Sekunder terhadap Blefaritis kontak

Blefaritis kontak yang disebabkan oleh atropine, neomycin, antibiotika spectrum luas, dan medikasi topical lain sering diikuti oleh konjungtivitis infiltrate ringan yang menimbukan hyperemia, hipertropi papiler ringan, bertahi mata mukoid ringan, dan sedikit iritasi. Pemeriksaan kerokan berpulas giemsa sering hanya menampakkan sedikit sel epitel matim, sedikit sel polimorfonuklear dan mononuclear tanpa eosinofil. 1

Pengobatan diarahkan pada penemuan agen penyebab dan menghilangkannya. Blefaritis kontak dengan cepat membaik dengan kortikosteroid topical, namun pemakaiannya harus dibatasi. Penggunaan steroid jangka panjang pada palpebra dapat menimbulkan glaucoma steroid dan atropi kulit dengan telangiektasis yang menjelekkan.

2.6 Konjungtivitis Akibat Penyakit Autoim

2.6.1 Keratokonjungtivitis Sicca

Berkaitan dgn. Sindrom Sjorgen (trias: keratokonj. sika, xerostomia, artritis).

Ø Gejala:

- khas: hiperemia konjungtivitis bulbi dan gejala iritasi yang tidak sebanding dengan tanda-tanda radang.

- Dimulai dengan konjungtivitis kataralis

- Pada pagi hari tidak ada atau hampir tidak ada rasa sakit, tetapi menjelang siang atau malam hari rasa sakit semakin hebat.

- Lapisan air mata berkurang (uji Schirmer: abnormal)

- Pewarnaan Rose bengal Ù uji diagnostik.

Ø Pengobatan:

- air mata buatan Ù vitamin A topikal

- obliterasi pungta lakrimal.

2.7 Konjungtivitis Kimia atau Iritatif

2.7.1 Konjungtivitis Iatrogenik Pemberian Obat Topikal

Konjungtivitis folikular toksik atau konjungtivitis non-spesifik infiltrate, yang diikuti pembentukan parut, sering kali terjadi akibat pemberian lama dipivefrin, miotika, idoxuridine, neomycin, dan obat-obat lain yang disiapkan dalam bahanpengawet atau vehikel toksik atau yang menimbulakan iritasi. Perak nitrat yang diteteskan ke dalam saccus conjingtiva saat lahir sering menjadi penyebab konjungtivitis kimia ringan. Jika produksi air mata berkurang akibat iritasi yang kontinyu, konjungtiva kemudian akan cedera karena tidak ada pengenceran terhadap agen yang merusak saat diteteskan kedalam saccus conjungtivae.

Kerokan konjungtiva sering mengandung sel-sel epitel berkeratin, beberapa neutrofil polimorfonuklear, dan sesekali ada sel berbentuk aneh. Pengobatan terdiri atas menghentikan agen penyebab dan memakai tetesan yang lembut atau lunak, atau sama sekali tanpa tetesan. Sering reaksi konjungtiva menetap sampai berminggu-minggu atau berbulan-bulan lamanya setelah penyebabnya dihilangkan.

2.7.2 Konjungtivitis Pekerjaan oleh Bahan Kimia dan Iritans

Asam, alkali, asap, angin, dan hamper setiap substansi iritan yang masuk ke saccus conjungtiva dapat menimbulkan konjungtivitis. Beberapa iritan umum adalah pupuk, sabun, deodorant, spray rambut, tembakau, bahan-bahan make-up, dan berbagai asam dan alkali. Di daerah tertentu,asbut (campuran asap dan kabut) menjadi penyebab utama konjungtivitis kimia ringan. Iritan spesifik dalam asbut belum dapat ditetapkan secara positif, dan pengobatannya non-spesifik. Tidak ada efek pada mata yang permanen, namun mata yang terkena seringkali merah dan terasa mengganggu secara menahun. 1

Pada luka karena asam, asam itu mengubah sifat protein jaringan dan efek langsung. Alkali tidak mengubah sifat protein dan cenderung cepat menyusup kedalam jaringan dan menetap di dalam jaringan konjungtiva. Disini mereka terus menerus merusak selama berjam-jam atau berhari-hari lamanya, tergantung konsentrasi molar alkali tersebut dan jumlah yang masuk. Perlekatan antara konjungtiva bulbi dan palpebra dan leokoma kornea lebih besar kemungkinan terjadi jika agen penyebabnya adalah alkali. Pada kejadian manapun, gejala utama luka bahan kimia adalah sakit, pelebaran pembuluh darah, fotofobia, dan blefarospasme. Riwayat kejadian pemicu biasanya dapat diungkapkan.

Pembilasan segera dan menyeluruh saccus conjungtivae dengan air atau larutan garam sangat penting, dan setiap materi padat harus disingkirkan secara mekanik. Jangan memakai antidotum kimiawi. Tindakan simtomatik umum adalah kompres dingin selama 20 menit setiap jam, teteskan atropine 1% dua kali sehari, dan beri analgetika sistemik bila perlu. Konjungtivitis bacterial dapat diobati dengan agen antibakteri yang cocok. Parut kornea mungkin memerlukan transplantasi kornea, dan symblepharon mungkin memerlukan bedah plastic terhadap konjungtiva. Luka bakar berat pada kojungtiva dan kornea prognosisnya buruk meskipun dibedah. Namun jika pengobatan memadai dimulai segera, parut yang terbentuk akan minim dan prognosisnya lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Vaughan, Daniel G. dkk. Oftalmologi Umum. Widya Medika. Jakarta. 2000
  2. James, Brus, dkk. Lecture Notes Oftalmologi. Erlangga. Jakarta. 2005
  3. Ilyas DSM, Sidarta,. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 1998
  4. www.dcmsonline.org, tentang conjunctivitis
  5. www.eyepathologisyt.com/disease
  6. www.aafp.org/afp//AFPprinter/980215ap/morrow.html